Selasa, 25 April 2017

Hidup Bersama Mereka yang (Masih) Pakai Koteka

Rabu, 03/02/2016 18:10 WIB

Hidup Bersama Mereka yang (Masih) Pakai Koteka

Afif Farhan - detiktravel
  KOGOYANAK WIRO YIKWA KOGOYA LAMBENAK WENDANAK WAKURNAK
Di Wamena atau daerah di Pegunungan Tengah, Papua banyak ditemui para pria yang memakai koteka. Alat bungkus kelamin yang tradisional dan terbuat dari labu. Apa yang mereka lakukan sehari-hari?

Beberapa waktu silam, saya sempat traveling ke Wamena tepatnya ke distrik Kurulu yang cukup jauh dari pusat kotanya. Di sini, saya mencoba pengalaman sekali seumur hidup, tinggal 2 hari bersama orang-orang Papua, suku Dani yang masih orisinil. Para wanita tidak menggenakan pakaian, hanya jerami yang menutupi bagian bawahnya selutut dan para pria yang memakai koteka.

Saya tinggal di honai, rumah adat yang bentuknya seperti jamur. Rumah yang beratapkan jerami dan dindingnya dari kayu. Lantainya hanya tumpukan rumput saja, tanpa keramik.


Rumah honai (Afif/detikTravel)

Saya pun bertemu dengan banyak mereka yang masih menggunakan pakaian tradisional. Melihat para mama (sebutan bagi wanita yang sudah menikah), yang sehari-hari pergi berkebun untuk menanam ubi, kol dan memberi makan babi.

Para prianya, sehari-hari mereka pergi ke dalam hutan. Mereka berburu binatang seperti kuskus atau burung untuk dimakan. Alat untuk berburunya sederhana, cuma tombak dan panah saja.

Pertama kali bertemu dengan para pria yang memakai koteka, tentu menjadi 'shock culture' bagi saya. Tidak ada sehelai pun benang di badan, hanya koteka saja yang terbuat dari labu dan dibakar lalu dikeringkan, kemudian dipakai untuk membungkus kelamin pria.


Pria yang menggenakan koteka (Afif/detikTravel)

Lalu, koteka itu dikaitkan dengan tali rotan ke bagian punggungnya hingga hanya menyisakan testis saja di bagian luar. Mengapa mereka memakai koteka? Alasannya adalah supaya mudah masuk ke dalam hutan belantara.

Seharian, saya menghabiskan waktu dengan para pria yang menggenakan koteka. Mereka bangun di pagi hari, masuk ke dalam hutan dan pulang untuk makan siang ke rumah. Begitu saja terus yang dilakukan setiap hari.

Sayang, kebanyakan dari mereka belum bisa berbahasa Indonesia. Maka saya pun meminta pemandu saya, Sakeus Dabi yang juga merupakan orang asli Wamena tapi sudah 'modern'. Sakeus berperan sebagai penerjemah, kala saya mengobrol dengan salah satu panglima perang di sana.

"Dia sudah membunuh 20 orang lebih saat berperang," kata Sakeus.


Para pria bersiap berburu (Afif/detikTravel)

Perang menjadi suatu hal yang kerap terjadi dalam kehidupan suku-suku di Papua. Alasannya ada tiga, pertama karena perebutan ladang, kedua karena perebutan wanita dan ketiga karena masalah babi. Harap diketahui, babi merupakan hewan yang begitu mahal harganya di Wamena dan ukurannya besar-besar!

"Tapi kini, sudah tidak sering perang seperti dulu. Lagipula, banyak yang sudah pindah ke kota, yang tidak pakai koteka dan tidak hidup lagi di honai," ujar Sakeus.

Selain itu, saya kepikiran satu hal. Satu rumah honai, biasanya penuh sesak oleh satu keluarga dengan banyak anak. Babi pun juga sering dimasukan ke dalam honai. Lalu di mana, tempat pria dan wanita untuk bercinta?

"Mereka masuk ke dalam hutan sana, yang jauh di semak-semak," jawab Sakeus sembari tertawa.

Memasuki malam hari, ketika pukul 17.00, semua pria dan wanita sudah berada di rumah honai masing-masing. Mereka menyalakan api dan siap untuk makan malam, kemudian dilanjutkan dengan tidur. Karena tidak ada listrik, begitu bulan muncul maka suasananya menjadi gelap gulita. Tanpa cahaya sama sekali, kecuali cahaya bulan dan dari perapian di dalam rumah saja.

Masyarakat suku Dani di Wamena, biasanya bangun pukul 07.00 pagi kala matahari sudah bersinar. Kembali, yang wanita pergi berladang dan para pria masuk ke dalam hutan. Hanya itu saja kegiatan sehari-hari mereka.


Para mama yang sedang bakar batu (Afif/detikTravel)

"Namun jika ada tamu, biasanya mereka menyiapkan tari perang dan bakar batu. Lebih baik kalau mau bertemu suku-suku asli Papua ditemani oleh orang asli papuanya agar lancar komunikasinya," ungkap Sakeus.

Saya pun kerap kali berbicara dengan para pria suku Dani bersama Sakeus yang menjadi penerjemah. Kami saling bertukar cerita, saya menceritakan kehidupan di perkotaan dan mereka bercerita tentang perang dan pergi berburu.

Kadang mereka terlihat aneh dengan pakaian yang saya pakai atau kamera yang saya pegang. Sama seperti saya, yang juga aneh dengan apa yang mereka kenakan dan apa yang mereka lakukan setiap hari. Suatu perbedaan yang indah, di pedalaman Papua.

Hidup Bersama Mereka yang (Masih) Pakai Koteka

Rabu, 03/02/2016 18:10 WIB Hidup Bersama Mereka yang (Masih) Pakai Koteka Afif Farhan - detiktravel   KOGOYANAK WIRO YIKWA KOGOYA ...